Umurku sudah 30 tahun. Sampai sekarang aku masih hidup membujang, meskipun sebenarnya aku sudah sangat siap kalau mau menikah. Meskipun aku belum tergolong orang yang berpenghasilan wah, namun aku tergolong orang yang sudah cukup mapan, punya posisi menengah di tempat kerjaku sekarang.
Aku sampai sekarang masih malas untuk menikah, dan memilih menikmati hidup sebagai petualang, dari satu wanita ke wanita yang lain. Kisahku sebagai petualang ini, dimulai dari sebuah kejadian kira-kira 12 tahun yang lalu.
Waktu itu aku masih duduk di kelas 3 SMU. Hari itu aku ada janji dengan Bagus, sahabatku di sekolah. Rencananya dia mau mengajakku jalan-jalan ke Mall xxx sekedar menghilangkan kepenatan setelah seminggu penuh digojlok latihan sepak bola habis-habisan.
Sejam lebih aku menunggu di warung depan gang rumah pamanku (aku tinggal numpang di rumah paman, karena aku sekolah di kota yang jauh dari tempat tinggal orangtuaku yang di desa).
Jalan ke Mall xxx dari rumah Bagus melewati tempat tinggal pamanku itu, jadi janjinya aku disuruh menunggu di warung pinggir jalan seperti biasa. Aku mulai gelisah, karena biasanya Bagus selalu tepat janji.
Akhirnya aku menuju ke telepon umum yang ada di dekat situ, pengin nelpon ke rumah Bagus, memastikan dia sudah berangkat atau belum (waktu itu HP belum musim bro, paling juga peger yang sudah ada, tapi itupun kami tidak punya).
“Sialan.. telkom ini, barang rongsokan di pasang di sini!,” gerutuku karena telpon koin yang kumasukkan keluar terus dan keluar terus.
Setelah uring-uringan sebentar, akhirnya kuputuskan untuk ke rumah Bagus. Keputusan ini sebenarnya agak konyol, karena itu berarti aku berbalik arah dan menjauh dari Mall xxx tujuan kami, belum lagi kemungkinan bersimpang jalan dengan Bagus.
Tapi, kegelisahanku mengalahkan pertimbangan itu. Akhirnya, setelah titip pesan pada penjual di warung kalau-kalau Bagus datang, aku langsung menyetop angkot dan menuju ke rumah Bagus.
Sesampai di rumah Bagus, kulihat suasananya sepi. Padahal sore-sore begitu biasanya anggota keluarga Bagus (Papa, Mama dan adik-adik Bagus, serta kadang pembantunya) pada ngobrol di teras rumah atau main badminton di gang depan rumah. Setelah celingak-celinguk beberapa saat, kulihat pembantu di rumah Bagus keluar dari pintu samping.
“Bi.. Bibi.. kok sepi.. pada kemana yah?” tanyaku. Aku terbilang sering main ke rumah Bagus, begitu juga sebaliknya, Bagus sering main ke rumah pamanku, tempatku tinggal. Jadi aku sudah kenal baik dengan semua penghuni rumah Bagus, termasuk pembantu dan sopir papanya.
“Eh, mas Dito.. pada pergi mas, pada ikut ndoro kakung (juragan laki-laki). Yang ada di rumah cuman ndoro putri (juragan wanita),” jawabnya dengan ramah.
“Oh.. jadi Bagus ikut pergi juga ya Bi. Ya sudah kalau begitu, lain waktu saja saya ke sini lagi,” jawabku sambil mau pergi.
“Lho, nggak mampir dulu mas Dito. Mbok ya minum-minum dulu, biar capeknya hilang.”
“Makasih Bi, sudah sore ini,” jawabku.
Baru aku mau beranjak pulang, pintu depan tiba-tiba terbuka. Ternyata Tante Hesti, mama Bagus yang membuka pintu.
“Bibi ini gimana sih, ada tamu kok nggak disuruh masuk?”, katanya sambil sedikit mendelik pada si pembantu.
“Udah ndoro, sudah saya suruh duduk dulu, tapi mas Dito nggak mau,” jawabnya.
“Eh, nak Dito. Kenapa di luaran aja. Ayo masuk dulu,” kata Tante Hesti lagi.
“Makasih tante. Lain waktu aja saya main lagi tante,” jawabku.
“Ah, kamu ini kayak sama orang lain saja. Ayo masuk sebentar lah, udah datang jauh-jauh kok ya balik lagi. Ayo masuk, biar dibikin minum sama bibi dulu,” kata Tante Hesti lagi sambil melambai ke arahku.
Aku tidak bisa lagi menolak, takut membuat Tante Hesti tersinggung. Kemudian aku melangkah masuk dan duduk di teras, sementara Tante Hesti masih berdiri di depan pintu.
“Nak Dito, duduk di dalem saja. Tante lagi kurang enak badan, tante nanti nggak bisa nemenin kamu kalau duduk di luar.”
“Ya tante,” jawabku sambil masuk ke rumah dengan perasaan setengah sungkan.
“Bagus ikut Om pergi kemana sih tante?” tanyaku basa-basi setelah duduk di sofa di ruang tamu.
“Pada ke *kota X*, ke rumah kakek. Mendadak sih tadi pagi. Soalnya om-mu itu kan jarang sekali libur. Sekali boleh cuti, langsung mau nengok kakek.”
“Ehm.. tante nggak ikut?”
“Besuk pagi rencananya tante nyusul. Soalnya hari ini tadi tante nggak bisa ninggalin kantor, masih ada yang mesti diselesaiin,” jawab Tante Hesti.
“Emangnya Bagus nggak ngasih tahu kamu kalau dia pergi?”
“Nggak tante,” jawabku sambil sedikit terheran-heran. Tidak biasanya Tante Hesti menyebutku dengan “kamu”. Biasanya dia menyebutku dengan “nak Dito”.
“Kok bengong!” Tanya Tante Hesti membuatku kaget.
“Eh.. anu.. eh..,” aku tergugup-gugup.
“Ona-anu, ona-anu. Emang anunya siapa?” Tante Hesti meledek kegugupanku yang membuatku makin jengah.
Untung Bibi segera datang membawa secangkir teh hangat, sehingga rasa jengahku tidak berkepanjangan.
“Mas Dito, silakan tehnya dicicipin, keburu dingin nggak enak,” kata bibi sambil menghidangkan teh di depanku.
“Makasih Bi,” jawabku pelan.
“Itu tehnya diminum ya, tante mau mandi dulu.. bau,” kata Tante Hesti sambil tersenyum. Setelah itu Tante Hesti dan pembantunya masuk ke ruang tengah.
Sementara aku mulai membaca-baca koran yang ada di meja untuk. Hampir setengah jam aku sendirian membaca koran di ruang tamu, sampai akhirnya Tante Hesti nampak keluar dari ruang tengah.
Dia memakai T-shirt warna putih dipadu dengan celana ketat di bawah lutut. Harus kuakui, meskipun umurnya sudah 40-an namun badannya masih istimewa. Kulitnya putih bersih, dan wajahnya meskipun sudah mulai ada kerut di sana-sini, tapi masih jelas menampakkan sisa-sisa kecantikannya.
“Eh, ngapain kamu ngliatin tante kayak gitu. Heran ya liat nenek-nenek.”
“Mati aku!” kataku dalam hati. Ternyata Tante Hesti tahu sedang aku perhatikan. Aku hanya bisa menunduk malu, mungkin wajahku saat itu sudah seperti udang rebus.
“Heh, malah bengong lagi,” katanya lagi. Kali ini aku sempat melihat Tante Hesti tersenyum yang membuatku sedikit lega tahu kalau dia tidak marah.
“Maaf tante, nggak sengaja,” jawabku sekenanya.
“Mana ada nggak sengaja. Kalau sebentar itu nggak sengaja, lha ini lama gitu ngeliatnya,” kata Tante Hesti lagi.
Meskipun masih merasa malu, namun aku agak tenang karena kata-kata Tante Hesti sama sekali tidak menunjukkan sedang marah.
“Kata Bagus, kamu mau pertandingan sepakbola di sekolah ya?” Tanya Tante Hesti.
“Eh, iya tante. Pertandingan antar SMU se-kota. Tapi masih dua minggu lagi kok tante, sekarang-sekarang ini baru tahap penggojlokan,” Aku sudah mulai tenang kembali.
“Pelajaran kamu terganggu nggak?”
“Ya sebenarnya lumayan menggangu tante, habisnya latihannya belakangan ini berat banget, soalnya sekolah sengaja mendatangkan pelatih sepakbola beneran. Tapi, sekolah juga ngasih dispensasi kok tante. Jadi kalau capeknya nggak ketulungan, kami Dikasih kesempatan untuk nggak ikut pelajaran. Kalau nggak begitu, nggak tahu lah tante. Soalnya kalau badan udah pegel-pegel, ikut pelajaran pun nggak konsen.”
“Kalau pegel-pegel kan tinggal dipijit saja,” kata Tante Hesti.
“Masalahnya siapa yang mau mijit tante?”
“Tante mau kok,” jawab Tante Hesti tiba-tiba.
“Ah, tante ini becanda aja,” kataku.
“Eh, ini beneran. Tante mau mijitin kalau memang kamu pegel-pegel. Kalau nggak percaya, sini tante pijit,” katanya lagi.
“Enggak ah tante. Ya, saya nggak berani tante. Nggak sopan,” jawabku sambil menunduk setelah melihat Tante Hesti nampak sungguh-sungguh dengan kata-katanya.
“Lho, kan tante sendiri yang nawarin, jadi nggak ada lagi kata nggak sopan. Ayo sini tante pijit,” katanya sambil memberi isyarat agar aku duduk di sofa di sebelahnya. Penyakit gugupku kambuh lagi. Aku hanya diam menunduk sambil mempermainkan jari-jariku.
“Ya udah, kalau kamu sungkan biar tante ke situ,” katanya sambil berjalan ke arahku. Sebentar kemudian sambil berdiri di samping sofa, Tante Hesti memijat kedua belah pundakku. Aku hanya terdiam, tidak tahu persis seperti apa perasaanku saat itu.
Setelah beberapa menit, Tante Hesti menghentikan pijitannya. Kemudian dia masuk ke ruang tengah sambil memberi isyarat padaku agar menunggu. Aku tidak tahu persis apa yang dilakukan Tante Hesti setelah itu.
Yang aku tahu, aku sempat melihat bibi pembantu keluar rumah melalui pintu samping, yang tidak lama kemudian disusul Tante Hesti yang keluar lagi dari ruang tengah.
“Bibi tante suruh beli kue. Kue di rumah sudah habis,” katanya seolah menjawab pertanyaan yang tidak sempat kuucapkan.
“Ayo sini tante lanjutin mijitnya. Pindah ke sini aja biar lebih enak,” kali itu aku hanya menurut saja pindah ke sofa panjang seperti yang disuruh Tante Hesti. Kemudian aku disuruh duduk menyamping dan Tante Hesti duduk di belakangku sambil mulai memijit lagi.
“Gimana, enak nggak dipijit tante?” Tanya Tante Hesti sambil tangannya terus memijitku. Aku hanya mengangguk pelan.
“Biar lebih enak, kaosnya dibuka aja,” kata Tante Hesti kemudian. Aku diam saja. Bagaimana mungkin aku berani membuka kaosku, apalagi perasaanku saat itu sudah tidak karuan.
“Ya sudah. Kalau gitu, biar tante bantu bukain,” katanya sambil menaikkan bagian bawah kaosku.
Seperti kena sihir aku menurut saja dan mengangkat kedua tanganku saat Tante Hesti membuka kaosku. Setelah itu Tante Hesti kembali memijitku.
Sekarang tidak lagi hanya pundakku, tapi mulai memijit punggung dan kadang pinggangku. Perasaanku kembali tidak karuan, bukan hanya pijitannya kini, tapi sepasang benda empuk sering menyentuh bahkan kadang menekan punggungku.
Meski seumur-umur aku belum pernah menyentuh payudara, tapi aku bisa tahu bahwa benda empuk yang menekan punggungku itu adalah sepasang payudara Tante Hesti.
Beberapa lama aku berada dalam situasi antara merasa nyaman, malu dan gugup sekaligus, sampai akhirnya aku merasakan ada benda halus menelusup bagian depan celanaku. Aku terbelalak begitu mengetahui yang menelusup itu adalah tangan Tante Hesti.
“Tante.. ” kataku lirih tanpa aku sendiri tahu maksud kataku itu. Tante Hesti seperti tidak mempedulikanku, dia malah sudah bergeser ke sampingku dan mulai membuka kancing serta retsluiting celanaku.
Sementara itu aku hanya terdiam tanpa tahu harus berbuat apa. Sampai akhirnya aku mulai bisa
melihat dan merasakan Tante Hesti mengelus penisku dari luar CD-ku. Aku merasakan sensasi yang luar biasa. Sesuatu yang baru pertama kali itu aku rasakan.
Belum lagi aku sadar sepenuhnya apa yang terjadi, aku mendapati penisku sudah menyembul keluar dan Tante Hesti sudah menggenggamnya sambil sesekali membelai-belainya. Setelah itu aku lebih sering memejamkan mata sambil sekali-kali melirik ke arah penisku yang sudah jadi mainan Tante Hesti.
Tak berapa lama kemudian aku merasakan kenikmatan yang jauh lebih mencengangkan. Kepala penisku seperti masuk ke satu lubang yang hangat. Ketika aku melirik lagi, kudapati kepala penisku sudah masuk ke mulut Tante Hesti, sementara tangannya naik turun mengocok batang penisku.
Aku hanya bisa terpejam sambil mendesis-desis keenakan. Beberapa menit kemudian aku merasakan seluruh tubuhku mulai mengejang. Aku merasakan Tante Hesti melepaskan penisku dari mulutnya, tapi mempercepat kocokan pada batang penisku.
“Sssshhhh.. creettt… creett… ” Sambil mendesis menikmati sensasi rasa yang luar biasa aku merasakan cairan hangat menyemprot sampai ke dadaku, cairan air mHesti ku sendiri.
“Ah, dasar anak muda, baru segitu aja udah keluar,” Tante Hesti berbisik di dekat telingaku. Aku hanya menatap kosong ke wajah Tante Hesti, yang aku tahu tangannya tidak berhenti mengelus-elus penisku.
“Tapi ini juga kelebihan anak muda. Udah keluarpun, masih kenceng begini,” bisik Tante Hesti lagi.
Setelah itu aku lihat Tante Hesti melepas T-Shirtnya, kemudian berturut-turut, BH, celana dan CD-nya. Aku terus terbelalak melihat pemandangan seperti itu. photomemek.com Dan Tante Hesti seperti tidak peduli kemudian meluruskan posisi ku, kemudian dia mengangkang duduk di atasku. Selanjutnya aku merasakan penisku digenggam lagi, kali ini di arahkan ke selangkangan Tante Hesti.
“Sleppp…. Aaaaahhhhh… ” suara penisku menembus vagina Tante Hesti diiringi desahan panjangnya. Kemudian Tante Hesti bergerak turun naik dengan cepat sambil mendesah-desah. Mulutnya terkadang menciumi dada, leher dan bibirku.
Ada beberapa menit Tante Hesti bergerak naik turun, sampai akhirnya dia mempercepat gerakannya dan mulai menjerit-jerit kecil dengan liarnya. Akupun kembali merasakan kenikmatan yang luar biasa. Tak lama kemudian…
“Aaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhh…….. ,” Tante Hesti melenguh panjang, bersamaan dengan teriakanku yang kembali merasakan puncak yang kedua kali.
Setelah itu Tante Hesti terkulai, merebahkan kepalanya di dadaku sambil memeluk pundakku.
“Terima kasih Dit…,” bisiknya lirih diteruskan kecupan ke bibirku.
Sejak kejadian itu, aku mengalami syok. Rasa takut dan bersalah mulai menghantui aku. Sulit membayangkan seandainya Bagus mengetahui kejadian itu. Perubahan besar mulai terjadi pada diriku, aku mulai sering menyendiri dan melamun.
Namun selain rasa takut dan bersalah, ada perasaan lain yang menghinggapi aku. Aku sering terbayang-bayang Tante Hesti dia telanjang bulat di depanku, terutama waktu malam hari, sehingga aku tiap malam susah tidur. Selain seperti ada dorongan keinginan untuk mengulangi lagi apa yang telah Tante Hesti lakukan padaku.
Perubahan pada diriku ternyata dirasakan juga oleh paman dan bibiku dan juga teman-temanku, termasuk Bagus. Tentu saja aku tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya.
Situasi seperti itu berlangsung sampai seminggu lebih yang membuat kesehatanku mulai drop akibat tiap malam susah tidur, dan paginya tetap kupaksakan masuk sekolah.
Akibat dari itu pula, akhirnya aku memilih mundur dari tim sepakbola sekolahku, karena kondisiku tidak memungkinkan lagi untuk mengikuti latihan-latihan berat. Kira-kira seminggu setelah kejadian itu, aku berjalan sendirian di trotoar sepulang sekolah.,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Bersambung – Bagian 2